Mata Kuliah dari Seorang Pemulung
Hujan rintik-rintik tiba-tiba mengguyur kawasan kampus di kota saya. Saya bergegas masuk ke sebuah warung bubur langganan para mahasiswa di depan fakultas teknik sebuah PTN. Di sudut warung tersebut, seorang lelaki berkumis sedang begitu santai menikmati segelas kopi dan sebatang rokok kretek. Saya duduk tak begitu jauh darinya.
Ketika hujan mulai lebat, laki-laki itu memarkir sepeda untanya lebih dekat ke warung tersebut, agar tumpukan kardus dan kantong semen tidak basah. Setelah sebelumnya dengan amat sopan dia meminta izin kepada si pemilik warung bubur.
Ia memperkenalkan dirinya kepada saya sebagai seorang pemulung, dan di samping menjadi tukang pemungut barang-barang bekas, ia kadang juga memanfaatkan sedikit keahliannya sebagai seorang pemijat. Ia bercerita panjang lebar tentang sejarah hidupnya.
"Mas," katanya kepada saya. "Beberapa waktu lalu, saya ini ditawari suatu pekerjaan dengan gaji sehari empat ratus ribu rupiah, diberi fasilitas motor baru, handphone sekaligus pulsanya sekalian. Tapi saya menolak pekerjaan itu."
Saya sempat terbelalak mendengar penuturannya. Dengan perasaan yang masih heran, saya mencoba bertanya lagi. "Pekerjaan seperti apakah itu pak, kok begitu menggiurkan dan bapak sendiri menolaknya."
"Kurir sabu-sabu," jawabnya bersemangat. "Lebih baik usus saya nempel di perut karena lapar daripada harus menjadi bagian dari pekerjaan haram. Saya lebih mulia menjadi seorang pemungut kardus dan kantong semen daripada ke empat anak saya makan barang tidak halal."
Saya makin serius mendengarkan kalimat-kalimat indah yang meluncur dari sosok yang amat sederhana ini. Ia juga bercerita panjang lebar tentang situasi dan kondisi kontemporer. Tak ketinggalan ia juga bicara soal musibah yang seolah tak kan pernah berhenti mengguncang negeri ini.
Sekali-sekali terdengar juga ia mengkritisi tingkah polah manusia pada umumnya. Tak hanya pemimpin, dan kaum cerdik pandai yang ia kritisi, tapi rakyat jelata seperti kami pun tak lepas dari kritikannya.
Ia tampak menyesal sekali ketika melihat di ibukota negara, -yang kata dia- adalah tempat berkumpulnya orang-orang pinter, orang-orang yang gelar akademiknya sampai satu meter, tapi kenapa dalam menangani flu burung saja, mesti unggasnya yang dibantai?
Ia mengajak kami untuk mempelajari hadits Nabi tentang lalat yang beracun. "Ketika lalat itu masuk ke dalam minuman, dan hanya satu sayapnya saja yang tenggelam, maka Nabi memerintahkan agar menenggelamkan sayap yang satunya lagi. Sebab di sayap yang satu itu ada penawar racun." Ujarnya bersemangat.
"Barangkali, dalam tubuh unggas itu justru ada penawar untuk flu burung." Tambahnya, sambil menghimbau para pakar kesehatan dan peternakan untuk lebih intensif lagi meneliti tentang hal ini.
"Lantas?" tanya saya. "Menurut bapak, solusi apakah yang paling tepat untuk mengatasi negeri yang makin hari makin parah ini?"
"Tak ada lain, Mas, kecuali kita harus cepat-cepat bertaubat kepadaNya. Kita harus membuka kembali kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada kita."
Saya hanya tersenyum sambil melihat wajah bersih laki-laki yang seolah begitu nikmat menjalani hidup ini, walaupun hanya berkendaraan sepeda unta yang tua dan pekerjaannya hanya menjadi tukang pungut kardus dan kantong semen.
Saya, pemilik warung bubur yang asli Kuningan, dan seorang mahasiswa yang sedang melahap bubur, terangguk-angguk diberi mata kuliah dari seorang pemulung sederhana itu. Saya sebenarnya ingin lebih lama lagi berbincang dengan dia, sayang waktu makin merambat sore. Saya makin rindu saja dengan sosok sederhana yang ternyata sarat ilmu kehidupan itu.
Ketika hujan mulai lebat, laki-laki itu memarkir sepeda untanya lebih dekat ke warung tersebut, agar tumpukan kardus dan kantong semen tidak basah. Setelah sebelumnya dengan amat sopan dia meminta izin kepada si pemilik warung bubur.
Ia memperkenalkan dirinya kepada saya sebagai seorang pemulung, dan di samping menjadi tukang pemungut barang-barang bekas, ia kadang juga memanfaatkan sedikit keahliannya sebagai seorang pemijat. Ia bercerita panjang lebar tentang sejarah hidupnya.
"Mas," katanya kepada saya. "Beberapa waktu lalu, saya ini ditawari suatu pekerjaan dengan gaji sehari empat ratus ribu rupiah, diberi fasilitas motor baru, handphone sekaligus pulsanya sekalian. Tapi saya menolak pekerjaan itu."
Saya sempat terbelalak mendengar penuturannya. Dengan perasaan yang masih heran, saya mencoba bertanya lagi. "Pekerjaan seperti apakah itu pak, kok begitu menggiurkan dan bapak sendiri menolaknya."
"Kurir sabu-sabu," jawabnya bersemangat. "Lebih baik usus saya nempel di perut karena lapar daripada harus menjadi bagian dari pekerjaan haram. Saya lebih mulia menjadi seorang pemungut kardus dan kantong semen daripada ke empat anak saya makan barang tidak halal."
Saya makin serius mendengarkan kalimat-kalimat indah yang meluncur dari sosok yang amat sederhana ini. Ia juga bercerita panjang lebar tentang situasi dan kondisi kontemporer. Tak ketinggalan ia juga bicara soal musibah yang seolah tak kan pernah berhenti mengguncang negeri ini.
Sekali-sekali terdengar juga ia mengkritisi tingkah polah manusia pada umumnya. Tak hanya pemimpin, dan kaum cerdik pandai yang ia kritisi, tapi rakyat jelata seperti kami pun tak lepas dari kritikannya.
Ia tampak menyesal sekali ketika melihat di ibukota negara, -yang kata dia- adalah tempat berkumpulnya orang-orang pinter, orang-orang yang gelar akademiknya sampai satu meter, tapi kenapa dalam menangani flu burung saja, mesti unggasnya yang dibantai?
Ia mengajak kami untuk mempelajari hadits Nabi tentang lalat yang beracun. "Ketika lalat itu masuk ke dalam minuman, dan hanya satu sayapnya saja yang tenggelam, maka Nabi memerintahkan agar menenggelamkan sayap yang satunya lagi. Sebab di sayap yang satu itu ada penawar racun." Ujarnya bersemangat.
"Barangkali, dalam tubuh unggas itu justru ada penawar untuk flu burung." Tambahnya, sambil menghimbau para pakar kesehatan dan peternakan untuk lebih intensif lagi meneliti tentang hal ini.
"Lantas?" tanya saya. "Menurut bapak, solusi apakah yang paling tepat untuk mengatasi negeri yang makin hari makin parah ini?"
"Tak ada lain, Mas, kecuali kita harus cepat-cepat bertaubat kepadaNya. Kita harus membuka kembali kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada kita."
Saya hanya tersenyum sambil melihat wajah bersih laki-laki yang seolah begitu nikmat menjalani hidup ini, walaupun hanya berkendaraan sepeda unta yang tua dan pekerjaannya hanya menjadi tukang pungut kardus dan kantong semen.
Saya, pemilik warung bubur yang asli Kuningan, dan seorang mahasiswa yang sedang melahap bubur, terangguk-angguk diberi mata kuliah dari seorang pemulung sederhana itu. Saya sebenarnya ingin lebih lama lagi berbincang dengan dia, sayang waktu makin merambat sore. Saya makin rindu saja dengan sosok sederhana yang ternyata sarat ilmu kehidupan itu.
Dari: Sus Woyo
14 23 comments:
Bondol sekarang dagang bubur kacang ijo juga ya? heheee
Wah, hebat banget ya.. si pemulung itu. Padahal ga semua orang kayak dia... Salut deh.
Sesungguhnya, dari merekalah kita lebih banyak belajar. Mereka belajar dari alam.
Bapak pemulung itu, telah memberikan ilmu baru untuk kita semua, semoga kita bisa memetik ilmunya...
Salam kenal ^_^
Seperti kata pepatah, "don't judge the book by it's cover" , walau seorang pemulung tetapi ternyata blio lebih bijak dan sarat pengalaman.
jangan memandang orang dari penampilan fisik belaka..setiap orang pasti ada sisi baiknya...ambil pengalamannya jadikan sebagai pelajaran yang bermanfaat
Mas ngga nanya nama ma alamatnya? kayaknya dia bakal bisa ngajarin saya banyak hal lebih dari dosen2 saya..sumpah salut banget ada orang macam pemulung yang mas ceritain itu...
sebenarnnya mau tanya sih tapi sudah terbius sama ceritanya jadinya ngk bisa berkata apa2
Mmmm..... salut sekali.....!
mungkin bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin² yang seperti beliau ini.
Salut buat bapak, kapan dikasih kesempatan berpidato kenegaraan yach biar cara hidup belio bisa ditiru masyarakat kita.
wah hebat nya dapet pelajaran berharga dari seorang pemulung.
boleh minta resep buburnya? *halah!*
siap tahu pemulung itu salah satu sirr Allah, kalo benar, beruntunglah engkau menemuinya setidaknya cahanya melimpah kepadamu sehingga menambah keberkahan hidupmu
Jadi pengen dipijet...
dengan membaca ini saya makin yakin bhwa memang sbaiknya jangan melihat siapa yg berbicara, tapi lihat apa yang dia bicarakan....
nitip link mas :
Komodo Island is the NEW 7 Wonders of The World
ya yang namanya ilmu bisa diambil dari siapa saja baik itu anak kecil,,,,selama itu bermanfaat
hoho... dahsyat sekali tulisannya nih. ternyata siapa saja bisa menjadi sumber pencerahan
wah,.. mulia sekali orang itu,.!!!
pelajaran berharga bisa di dapat dari mana saja tak terkecuali dari seorang pemulung, jadi hargailah setiap orang karena semunya sama derajatnya di mata Tuhan yang Maha Esa..
pelajaran yang sangat berharga
salut banget buat mr.eagle,..
subhanallah betapa beruntungnya bisa bertemu seseorang seperti itu..
It is best to participate in a contest for among the best blogs on the web. I will suggest this web site!
Post a Comment
Thanks For Comment